Opini
Logika Ajaib Menteri Israel

Ketika Yitzchak Goldknopf, Menteri Perumahan dan Konstruksi Israel, dengan penuh keyakinan menyatakan bahwa “Jewish settlement here is the answer to the terrible massacre” (pemukiman Yahudi di sini adalah jawaban atas pembantaian yang mengerikan), sulit rasanya untuk tidak memiringkan kepala, mengerutkan dahi, dan bertanya-tanya apakah menteri ini benar-benar percaya dengan apa yang ia katakan, atau sekadar berharap orang lain cukup bodoh untuk menerimanya. Logika di balik pernyataan ini begitu absurd sehingga, jika tidak begitu tragis, mungkin kita bisa tertawa. Bagaimana mungkin membangun pemukiman ilegal di tanah yang bukan milik Anda menjadi solusi atas tragedi kekerasan?
Jika kita coba uraikan, pernyataan ini seperti mengatakan bahwa cara terbaik untuk menghentikan badai adalah dengan menanam pohon di laut. Tidak ada hubungan sebab-akibat, hanya klaim kosong yang dibalut dengan retorika moralitas. Bagaimana memperluas pemukiman ilegal yang jelas-jelas melanggar hukum internasional bisa dianggap sebagai jawaban? Apakah Goldknopf benar-benar menganggap orang-orang di luar Israel tidak mampu berpikir logis, atau ini hanyalah bagian dari propaganda yang disengaja untuk membenarkan ambisi ekspansionis mereka?
Ketika dia menambahkan kritik terhadap Pengadilan Kriminal Internasional (International Criminal Court atau ICC) yang mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk pejabat tinggi Israel, logika pernyataannya semakin kacau. Menurutnya, ICC, alih-alih memikirkan para sandera, malah memilih untuk menargetkan Israel. Namun, surat perintah itu dikeluarkan bukan karena ICC “tidak peduli pada sandera”, tetapi karena dugaan kejahatan perang yang dilakukan Israel. Goldknopf dengan cerdas—atau mungkin licik—berusaha mengalihkan perhatian dari inti masalah, yaitu tindakan ilegal Israel di wilayah Palestina, dan mencoba menempatkan dirinya sebagai korban.
Mungkin yang paling menggelikan adalah argumennya bahwa pemukiman membawa keamanan. Sejarah telah menunjukkan sebaliknya. Pemukiman ilegal adalah sumber utama ketegangan di wilayah tersebut, penyebab penggusuran, dan pemantik konflik yang tak berujung. Membenarkan pemukiman dengan dalih keamanan adalah logika yang terbalik. Ini seperti mencoba memadamkan api dengan menuangkan bensin, lalu mengklaim bahwa api semakin besar karena orang lain tidak cukup kooperatif.
Ironi dari semua ini adalah bagaimana pernyataan Goldknopf sepenuhnya mengabaikan realitas kemanusiaan di Gaza. Bukannya mencari solusi untuk meredakan konflik atau membantu korban, ia justru memanfaatkan tragedi sebagai peluang untuk memajukan agenda politik. Dalam konteks ini, “pemukiman sebagai jawaban” tidak lebih dari upaya sinis untuk menormalisasi kolonialisme modern. Tragedi 7 Oktober, alih-alih menjadi momen refleksi, digunakan sebagai alat propaganda untuk membenarkan tindakan yang justru menjadi akar dari konflik yang mereka klaim ingin selesaikan.
Pernyataan ini bukan hanya tidak logis, tetapi juga arogan. Ia mencerminkan pola pikir kolonial yang tidak peduli pada hukum internasional atau hak asasi manusia. Jika Goldknopf benar-benar ingin memberikan “jawaban” atas tragedi, ia seharusnya memulai dengan menghormati hukum internasional, membuka jalan bagi dialog, dan mencari solusi damai yang menghormati hak-hak rakyat Palestina. Namun, solusi seperti itu tampaknya terlalu membosankan bagi mereka yang lebih memilih jalan kekerasan dan ekspansi.
Pada akhirnya, dunia harus melihat pernyataan ini sebagai apa adanya: bukan solusi, tetapi dalih untuk memperluas kontrol atas wilayah yang bukan milik mereka. Dunia internasional harus bertanya, sampai kapan kita membiarkan logika seperti ini mendikte nasib jutaan orang Palestina? Logika yang bukan hanya cacat, tetapi juga berbahaya. Ini bukan sekadar kebijakan buruk; ini adalah pengkhianatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang paling mendasar.