Opini
NATO ‘Macet’ di Eropa

Ketika NATO, organisasi militer paling kuat di dunia, harus menghadapi “kemacetan” logistik di Eropa, kita bisa mulai bertanya, seberapa efektif sebenarnya pertahanan kolektif yang dibanggakan oleh negara-negara anggotanya? Bayangkan, pasukan dari negara-negara yang mengklaim memiliki teknologi militer tercanggih, ternyata terhambat oleh masalah administrasi sepele dan aturan lalu lintas. Ini bukan masalah “kelambatan,” tapi sebuah kegagalan struktural yang fatal.
Dengan anggaran miliaran euro yang sudah habis untuk meningkatkan mobilitas pasukan, Eropa malah tetap terjebak dalam birokrasi yang bisa membuat siapa pun ingin tertawa—atau menangis. Proses izin lintas batas yang memakan waktu hingga 45 hari bukan hanya absurd, itu benar-benar menciptakan gambaran yang absurd tentang kecepatan respons militer. Alih-alih bergerak cepat, NATO sepertinya lebih cepat terjebak dalam antrean panjang formulir dan dokumen.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa mobilitas pasukan di Eropa terkendala oleh aturan ketinggalan zaman dan infrastruktur yang lebih cocok untuk truk pengantar makanan daripada kendaraan perang. Jalan yang terlalu sempit, jembatan yang tak mampu menopang berat tank, dan rencana logistik yang hanya ada di atas kertas. Jika sebuah negara berperang dengan musuh yang lebih gesit, NATO mungkin harus mempertimbangkan untuk menyerah—karena mereka bahkan tidak bisa bergerak cepat di wilayah sendiri.
Tentu saja, tidak ada yang salah dengan masalah administratif. Semua orang tahu bahwa prosedur yang rapi dan teratur adalah hal yang penting. Tetapi ketika prosedur itu malah membuat pergerakan pasukan militer sebuah aliansi internasional terhenti, ini bukan hanya masalah administratif—ini adalah cerminan dari kegagalan total dalam perencanaan dan eksekusi. Begitu banyak kebijakan yang dibahas dan disetujui di meja konferensi, namun di lapangan, semuanya tidak lebih dari sekadar mimpi yang terjebak di birokrasi.
Kita bisa saja menuding Uni Eropa yang sibuk berurusan dengan masalah internal mereka, tetapi sebenarnya, masalah ini juga mengundang pertanyaan besar mengenai komitmen NATO terhadap ancaman yang nyata. Bagaimana aliansi ini bisa mengklaim akan menjaga keamanan global jika mereka bahkan tak mampu menjaga mobilitas pasukan mereka sendiri? Dalam dunia yang semakin terfragmentasi, di mana setiap detik bisa menentukan hasil peperangan, NATO jelas kehilangan momentum.
Kehilangan anggaran yang besar dalam waktu singkat tanpa hasil yang memadai tentu menyakitkan. Bukan hanya membuang uang, tetapi lebih kepada menghancurkan harapan tentang sistem pertahanan yang kuat dan siap siaga. Memang, kata “siap siaga” menjadi sangat lucu jika dihadapkan dengan kenyataan bahwa sebuah tank bisa dilarang melintasi negara tetangga hanya karena terlalu berat. Sepertinya, lebih bijak jika NATO mengganti strategi mereka menjadi “siap macet” alih-alih “siap siaga.”
Sementara itu, ancaman nyata terus meningkat. Negara-negara yang tidak terikat oleh kerumitan aturan ini dapat bergerak lebih cepat dan lebih efisien. Di saat NATO terjebak dalam peraturan yang memusingkan, kekuatan militer non-NATO, yang lebih gesit dan fleksibel, mungkin akan lebih cepat sampai ke lokasi yang dibutuhkan. Maka, siapa yang sebenarnya siap untuk bertindak jika benar-benar dibutuhkan?
Birokrasi memang penting untuk menjaga ketertiban, namun jika birokrasi itu malah menghalangi tujuan utamanya—keamanan—maka sudah saatnya untuk bertanya: Apakah NATO sebenarnya lebih berfungsi sebagai lembaga administratif ketimbang aliansi militer? Ketika aturan menjadi lebih penting daripada kenyataan di lapangan, kita harus bertanya, siapa yang sebenarnya menang dalam peperangan tersebut—birokrasi atau pasukan di medan tempur?
Pada akhirnya, kita semua tahu bahwa anggaran yang habis dan proyek-proyek yang gagal hanyalah secuil gambaran dari kekacauan yang lebih besar. NATO mungkin harus mulai memikirkan ulang prinsip dasar mereka: apakah lebih penting untuk mengurus mobilitas pasukan atau menjaga kenyamanan birokrasi? Jika mereka tidak bisa bergerak dengan cepat di wilayah mereka sendiri, bagaimana mereka bisa menjaga dunia tetap aman?