Opini
Suriah: Janji Perdamaian yang Tertunda dan Terlupakan

Di Suriah, sudah lebih dari 13 tahun sejak konflik dimulai, namun kedamaian yang dijanjikan oleh para pemimpin transisi justru terlihat seperti ilusi yang semakin menjauh. Dalam pidato pertamanya setelah dilantik sebagai presiden, Ahmed al-Sharaa menegaskan akan mengejar “kriminal yang telah menumpahkan darah Suriah dan melakukan pembantaian.” Ironisnya, banyak yang bertanya-tanya: siapa yang harus dikejar dulu, penguasa lama atau para pejuang yang kini menjadi penguasa baru?
Satu hal yang pasti, Suriah tidak kekurangan kekerasan. Namun, di tengah ambisi untuk membangun kembali negara, kesan pertama yang terlihat justru paradoks. Pemerintah baru berjanji untuk mengejar para pelaku kejahatan perang, sementara kenyataannya banyak dari mereka yang justru kini berperan sebagai penguasa baru. Memang, siapa yang layak disalahkan dalam lingkaran setan kekerasan yang tak berujung ini?
Bagaimana bisa menciptakan keadilan jika mereka yang berbicara tentang keadilan adalah orang-orang yang pernah terlibat dalam kekerasan itu sendiri? Dengan penguasa baru yang sebagian besar terdiri dari kelompok yang sama, janji untuk mengejar para “kriminal” itu terasa seperti lelucon. Bukan lelucon untuk mereka yang telah kehilangan segalanya dalam perang, tapi lelucon untuk para penguasa yang mengklaim diri mereka sebagai penyelamat.
Sharaa berjanji untuk membentuk badan legislatif kecil untuk menggantikan parlemen yang sudah dibubarkan. Bayangkan saja, di tengah kekacauan yang begitu dalam, solusi yang diusulkan adalah sebuah badan legislatif kecil yang akan mengatur negara dengan penuh kehati-hatian. Sepertinya, untuk membangun kembali Suriah, kita membutuhkan lebih dari sekadar badan legislatif. Mungkin sebuah pemerintahan yang tidak ragu-ragu, bukan yang terpecah dalam banyak lapisan kepentingan.
Ironisnya, sementara banyak warga Suriah yang menginginkan rekonsiliasi dan perdamaian, kenyataannya adalah dialog nasional yang dijanjikan Sharaa tampaknya lebih banyak diwarnai oleh janji kosong. “Konferensi Dialog Nasional” menjadi kata-kata yang indah, tetapi tak lebih dari sekadar wacana yang bertujuan menenangkan mereka yang sudah lelah dengan konflik tanpa ujung. Menyatukan Suriah dalam satu meja perundingan ternyata lebih sulit daripada sekadar berbicara tentang itu.
Dan siapa yang seharusnya duduk di meja itu? Apakah mereka yang dulu berjuang melawan Assad? Ataukah mereka yang sekarang memimpin negara ini dengan tangan yang tak terlalu bersih dari darah? Keinginan untuk menciptakan perdamaian di Suriah terasa seperti membangun rumah di atas pasir. Pembangunan negara di tengah kebingungan moral ini tentu saja bukan pekerjaan yang mudah, dan lebih mirip seperti upaya membangun kastil pasir yang siap runtuh dengan sedikit hembusan angin.
Sharaa dan para pendukungnya mungkin berpikir bahwa mereka bisa menghapus masa lalu yang penuh dengan kekerasan dan kebrutalan, namun kenyataannya adalah mereka sedang memimpin negara yang masih dibekap oleh sejarah darah. Ironisnya, meskipun mereka berbicara tentang keadilan, mereka tidak mampu menjelaskan bagaimana cara mencapainya dalam negara yang tercabik-cabik oleh banyak pihak yang memiliki agenda masing-masing. Di tengah kekacauan ini, siapakah yang akan menegakkan keadilan?
Namun, kita harus akui bahwa mereka yang menggantikan Assad tidak pernah berjanji akan menjadi penyelamat yang sempurna. Mereka hanya berjanji untuk menggantikan satu rezim otoriter dengan yang lainnya. Janji untuk menegakkan keadilan hanya terdengar seperti lelucon di telinga mereka yang terjebak dalam kehidupan penuh ketidakpastian dan ancaman dari segala penjuru. Perang yang tidak kunjung selesai hanya digantikan dengan janji-janji yang tidak kunjung dipenuhi.
Di akhir pidato Sharaa, dia menyebutkan pentingnya “menghadirkan perdamaian sipil” dan “mempertahankan kesatuan teritorial”. Namun, apa artinya perdamaian jika rakyatnya tidak pernah merasakannya? Apa artinya kesatuan teritorial jika hati setiap warga Suriah terpecah oleh kenangan akan kekerasan yang tak berujung? Inilah paradoks terbesar dari Suriah hari ini—sebuah negara yang berjuang untuk kesatuan, tetapi dihancurkan oleh perpecahan yang dalam.
Ironisnya, negara yang berusaha untuk keluar dari bayang-bayang kekuasaan Assad kini justru terjebak dalam kekuasaan yang sama, hanya dengan wajah yang berbeda. Suriah berusaha membangun masa depan, namun kenyataannya, masa depan itu tidak bisa dipisahkan dari luka lama yang tak kunjung sembuh. Jadi, siapa yang sebenarnya menang di Suriah? Apakah rakyat yang telah lama menderita, atau mereka yang kini memimpin negara ini dengan janji-janji yang tak pernah terwujud?