Opini
Gaza ‘Dibersihkan’: Ironi Kemanusiaan Versi Trump

Presiden Amerika Serikat Donald Trump, dalam penerbangan di Air Force One, melontarkan ide yang, jika tidak begitu mengerikan, mungkin terdengar seperti skenario film fiksi absurd. Ia menyarankan agar Gaza “dibersihkan” dan warganya dipindahkan ke negara-negara Arab tetangga seperti Mesir dan Yordania. Dengan dalih kemanusiaan, Trump menyebut ini sebagai solusi bagi penderitaan Gaza.
Namun, mari kita telaah sejenak “kemanusiaan” versi Trump ini. Jika benar tujuannya menyelamatkan nyawa, langkah paling logis seharusnya adalah menghentikan aliran senjata ke Israel, yang selama ini menjadi pemicu utama kehancuran di Gaza. Alih-alih memindahkan korban, kenapa tidak menghentikan penyebab kehancuran? Tapi tentu saja, itu terlalu sederhana untuk disadari.
Trump bahkan menawarkan ide “membangun perumahan baru di tempat lain” agar warga Gaza bisa hidup damai. Pernyataan ini terdengar seperti promosi properti: “Ayo pindah ke lokasi baru yang lebih tenang dan jauh dari konflik!” Padahal, solusi ini hanyalah eufemisme untuk pembersihan etnis. Ironi ini begitu kentara.
Jika benar-benar atas dasar kemanusiaan, mengapa tidak memindahkan warga Israel ke Amerika saja? Bukankah itu lebih masuk akal? Israel adalah sekutu utama AS, dan tanahnya jauh lebih kecil dibandingkan Gaza. Mereka juga lebih berpengaruh di Washington. Mungkin Trump lupa bahwa ini adalah konflik penjajahan, bukan masalah real estat.
Diskusi ini semakin absurd jika kita membalik logikanya. Misalnya, bagaimana jika ada usulan untuk memindahkan warga Amerika ke Mars karena negara itu dianggap sering menciptakan konflik global? Apakah Trump mau? Tentu tidak. Tapi mengapa ide serupa dianggap masuk akal ketika menyangkut rakyat Palestina? Standar ganda ini begitu mencolok.
Sementara itu, rakyat Gaza tetap bertahan. Mereka menghadapi blokade yang mencekik, serangan militer yang mematikan, dan kondisi hidup yang tidak manusiawi. Meski di bawah tekanan luar biasa, mereka tetap memilih bertahan di tanah mereka. Ini bukan soal pilihan semata, tetapi soal hak dasar untuk hidup di tanah kelahiran mereka.
Ironi lain adalah bagaimana retorika “kemanusiaan” ini digunakan untuk membenarkan pengusiran. Dalam dokumen Israel yang bocor, bahkan ada rencana untuk meyakinkan warga Gaza bahwa pengusiran mereka adalah kehendak Tuhan. “Allah membuat kalian kalah karena Hamas,” bunyi dokumen itu. Sebuah manipulasi religius yang menggelikan dan berbahaya.
Lebih jauh, dokumen itu menyarankan kampanye hubungan masyarakat agar pengusiran ini diterima dunia internasional sebagai tindakan “kemanusiaan.” Narasi ini mencoba mengubah kejahatan menjadi amal. Jika pembersihan etnis bisa dibungkus seperti ini, apalagi yang bisa dilakukan atas nama “kemanusiaan”? Dunia harus waspada terhadap narasi semacam ini.
Pernyataan Trump sejalan dengan agenda ekstrem kelompok zionis yang telah lama berusaha mengosongkan Gaza. Mereka ingin menggantikan kota itu dengan kawasan bisnis dan tempat tinggal mewah, tetapi tanpa rakyat Palestina. Ini bukanlah solusi, melainkan perpanjangan dari penjajahan yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Dalam diskusi kita, gagasan ini terlihat semakin absurd. Trump berbicara seolah Gaza adalah proyek renovasi besar-besaran, dan warganya hanyalah hambatan logistik. Sementara itu, warga Palestina terus bertahan dan melawan, menolak untuk dihapus dari peta. Perlawanan mereka bukanlah sekadar aksi defensif, tetapi pernyataan tegas bahwa mereka tidak akan menyerah.
Pada akhirnya, solusi nyata untuk konflik ini bukanlah dengan memindahkan korban, tetapi dengan menghentikan penjajahan. Dunia tidak membutuhkan lebih banyak narasi palsu yang membungkus kejahatan dengan dalih kemanusiaan. Dunia membutuhkan keadilan. Jika Trump benar-benar peduli pada kemanusiaan, mungkin ia bisa memulai dengan melihat ke cermin dan menghentikan kebijakannya yang memperburuk penderitaan.